
Berita Terkini
Purbaya Beri Tenggat 16 Hari untuk Kementerian Selesaikan Anggaran
/index.php
Berita Terkini - Diposting pada 06 December 2023 Waktu baca 5 menit
DIGIVESTASI - Uni Eropa (UE) sepertinya mencari masalah dengan Indonesia melalui perdagangan internasional. Pasalnya, benua hijau masih menghalangi masuknya produk ekspor Indonesia ke wilayahnya karena sejumlah alasan ekonomi dan masalah lingkungan hidup. Kali ini, bea masuk anti dumping Uni Eropa (BMAD) terhadap baja tahan karat atau stainless steel dari dalam negeri.
Akibatnya, Pemerintah Indonesia menggugat UE ke Organisasi Perdagangan Dunia (WHO). BMAD merupakan pajak negara yang dipungut atas barang impor yang dijual dengan harga di bawah nilai normal. Pajak impor ini sering diterapkan untuk melindungi industri dalam negeri.
Uni Eropa mengenakan bea masuk penyeimbang (BMP) pada baja tahan karat dari India dan india. BMP yang dikenakan di india sebesar 21% dan India sebesar 7,5%. Kemudian, BMAD yang dikenakan Uni Eropa kepada Indonesia sebesar 10,2 hingga 31,5% dari tahun 2021.
Eropa sendiri merupakan produsen baja terbesar kedua di dunia, setelah China. Lima anggota UE yang merupakan produsen baja terbesar adalah Jerman, Italia, Prancis, Spanyol, dan Polandia. Di Eropa, industri baja merupakan tulang punggung perekonomian karena terkait erat dengan berbagai industri seperti mobil, konstruksi, elektronik, dan energi terbarukan.
Menurut European Steel Association (EUROFER), industri baja menempati urutan ketiga dalam nilai produksi dibandingkan industri lainnya. Nilainya mencapai 132 juta euro pada tahun 2020. Baja tahan karat (cold roll stainless steel/SSCRF) lebih dikenal dengan sebutan baja tahan karat.
Bahan ini sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan alat-alat dapur, medis, dan berat. Staf khusus Menteri Perdagangan yang membidangi Perjanjian Internasional, Bara Krishna Hasibuan mengungkap alasan UE mengerahkan BMAD di Indonesia.
Dia mengatakan UE menuduh Indonesia menerima subsidi dari pemerintah China. Penyebabnya karena China mendirikan perusahaan baja di Indonesia.
"Bagi UE, ini adalah praktik yang tidak adil. Oleh karena itu, UE membeli produk China sama dengan UE membeli produk China tetapi pabriknya di Indonesia tetapi disubsidi oleh pemerintah China," ujarnya saat berbincang di Timika, Tengah. wilayah. Papua. seperti dikutip Antara, Minggu (13/12). Bara mengatakan, saat ini permintaan ekspor stainless steel Indonesia ke Eropa semakin meningkat.
Dengan adanya BMAD dan BMP, kerugian yang dialami Indonesia dalam satu tahun bisa mencapai 40 juta euro atau Rp 569,1 miliar. Pengetatan peraturan UE terhadap produk-produk Indonesia sebelumnya juga menargetkan minyak sawit mentah (CPO), kakao, kedelai, kayu, produk karet, serta kopi dan produk kopi. Hal itu dilakukan melalui diundangkannya undang-undang (UU) anti deforestasi pada 16 Mei 2023.
Dengan aturan tersebut, UE akan menutup ekspor produk pertanian atau perkebunan yang dianggap menjadi penyebab deforestasi, termasuk minyak sawit dan kopi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan undang-undang anti deforestasi dapat merugikan Indonesia hingga 7 miliar USD atau setara Rp 104,7 triliun. (dengan asumsi nilai tukar 14.961 rupee/USD) di sisi ekspor.
Ia juga mengatakan kebijakan tersebut akan berdampak pada 15 hingga 17 juta perkebunan di Indonesia. Kembali ke persoalan baja tahan karat, Indonesia dan UE tengah dilanda “perang dagang”. Tentu saja Eropa juga menggugat Indonesia karena melarang ekspor bijih nikel, bahan baku pembuatan baja, mulai tahun 2020.
Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia telah berhenti mengekspor nikel mentah dan mendorong logam tersebut untuk memberikan nilai tambah ekonomi. Namun, langkah ini mendapat tentangan dari UE. Blok tersebut mengatakan bahwa kebijakan Indonesia untuk menghentikan ekspor bijih nikel telah menyebabkan harga nikel di pasar meroket, sehingga berdampak pada Uni Eropa dan negara-negara pengguna nikel lainnya.
Eropa kemudian meminta konsultasi dengan Indonesia melalui WTO pada tahun 2019. Gagal mencapai kesepakatan, Eropa menggugat pada tahun 2021. Alhasil, Panel WTO menyatakan tindakan Indonesia tidak sesuai aturan WTO. Artinya Indonesia kalah dalam kasus tersebut. Namun setelah “putusan” tersebut diumumkan, Indonesia mengajukan banding pada Desember 2022.
Lalu mengapa Uni Eropa masih mencari masalah perdagangan dengan Indonesia? Masalah apa yang mereka hadapi? Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menilai keputusan Eropa mengenakan bea masuk antidumping pada baja tahan karat adalah hal yang wajar. Menurutnya, upaya tersebut juga tidak terikat dengan langkah politik UE.
Terkait perdagangan luar negeri, kata Piter, semua negara akan berupaya meningkatkan surplus perdagangannya. Salah satu solusinya adalah dengan mengurangi impor. “Caranya adalah dengan menerapkan apa yang disebut hambatan non-tarif, seperti mengaitkan isu lingkungan hidup dan sebagainya,”. Ia menambahkan, Eropa juga menerapkan aturan perdagangan internasional untuk melindungi industri dalam negeri yang mungkin terancam oleh produk impor.
Oleh karena itu, Piter menilai Indonesia harus terus menggunakan jalur diplomasi komersial seperti WTO dan berbagai perundingan bilateral untuk melunakkan hati UE. “Di sisi lain, Indonesia perlu sedikit mengubah kebijakan impornya. Penting juga untuk memberikan tekanan pada produk-produk Eropa untuk memastikan keseimbangan dalam negosiasi,” tambah Piter. Ia menilai kebijakan impor Indonesia selama ini terlalu sederhana dan lugas. Hampir tidak ada hambatan, khususnya hambatan non-tarif.
“Hampir semua produk yang masuk ke Indonesia saat ini tidak ada hambatan apapun,” ujarnya.
sementara, Ronny P. Sasmita, analis senior Lembaga Aksi Ekonomi dan Strategis Indonesia, mengatakan Eropa memiliki tiga alasan untuk mengenakan bea masuk antidumping pada baja tahan karat.
Pertama, motif proteksionisme. Ronny mengatakan UE mulai memperketat peraturan terhadap beberapa jenis produk ekspor Indonesia. Dia mencontohkan pembatasan impor CPO. Penguatan regulasi melalui undang-undang anti-deforestasi menunjukkan bahwa UE melindungi minyak canola dari serbuan CPO Indonesia dan Malaysia. Ronny menjelaskan, “Penyebabnya, biaya produksi minyak canola jauh lebih tinggi dibandingkan minyak goreng dari bahan baku CPO.”
Kedua, motivasi menjaga lingkungan. Tidak dapat disangkal bahwa UE adalah kawasan yang paling ketat dalam hal perlindungan lingkungan. Oleh karena itu, Ronny menilai UE mempersulit masuknya sebagian produk ekspor Indonesia akibat meluasnya kerusakan lahan di Tanah Air. Menurutnya, Eropa menilai Indonesia merusak hutan untuk menanam kelapa sawit.
Ketiga, penyebab kecilnya adalah saling ketergantungan ekonomi antara Indonesia dan UE. Ronny mengatakan, nilai perdagangan Indonesia dan UE tidak terlalu besar, bahkan lebih rendah dibandingkan nilai perdagangan Vietnam dan UE. Ucapan Ronny bukanlah imajinasi.
Berdasarkan data yang disampaikan Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Nugraha Mansury, volume perdagangan antara Indonesia dan UE akan berjumlah 46 miliar USD atau sekitar Rp 723,3 triliun pada tahun 2022. Angka tersebut masih tertinggal jauh dari nilai perdagangan Vietnam-UE yang melebihi 94 miliar USD atau setara sekitar 1,478 triliun rupiah.
Ronny mengatakan rendahnya nilai perdagangan antara Indonesia dan UE membuat Eropa tidak dirugikan dengan membatasi impor produk Indonesia. “Uni Eropa tidak akan kehilangan banyak insentif ekonomi jika memberikan tekanan kepada Indonesia, termasuk melarang beberapa produk ekspor Indonesia,” ujarnya.
Apalagi, lanjut Ronny, sebagian besar produk ekspor Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif. Oleh karena itu, UE mempunyai banyak pilihan lain jika mengurangi impor beberapa produk dari Indonesia. Lebih lanjut, Ronny mengatakan Indonesia hanya bisa menyikapi pengetatan kebijakan Eropa dengan mengajukan gugatan ke WTO. Ia menilai hal tersebut merupakan prosedur yang benar.
Tapi itu hanya formalitas. Menurutnya, yang terpenting adalah meningkatkan keramahan lingkungan pada produk ekspor Indonesia. Pada saat yang sama, Indonesia juga perlu memperluas pasar di luar UE seperti Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya bergantung pada UE.
Ronny menilai Indonesia tidak bisa mengikuti jejak Amerika Serikat dan China yang melakukan perang dagang di bawah kepemimpinan Donald Trump. Saat itu, kedua negara menaikkan pajak impor. Ronny menilai tingkat perdagangan antara Indonesia dan Eropa tidak ada bandingannya.
“Kami tidak setara dengan Eropa,” katanya. Ini berbeda dengan Amerika yang melawan Tiongkok.”
Sumber: cnnindonesia.com
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital
DISCLAIMER
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.