
Crypto News
Bisa Jadi Kejutan! Altcoin Ini Berpotensi Meledak Jika ETF Oktober 2025 Disetujui!
/index.php
Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 18 June 2025 Waktu baca 5 menit
Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga jangka pendek di level 0,5% pada Selasa, 17 Juni 2025.
Selain itu, BoJ tidak mengubah rencana pengurangan pembelian obligasi yang sudah dirancang sebelumnya. Dalam rencana tersebut, BoJ akan mengurangi pembelian surat utang pemerintah Jepang sebesar ¥400 miliar per kuartal, sehingga total pembelian bulanan turun menjadi sekitar ¥3 triliun pada Maret 2026.
Namun, mulai tahun fiskal 2026, laju pengurangan tersebut akan diperlambat menjadi ¥200 miliar per kuartal, sehingga pembelian obligasi bulanan diperkirakan turun secara bertahap hingga mencapai sekitar ¥2 triliun pada Maret 2027.
Keputusan untuk memperlambat laju pengurangan neraca menunjukkan sikap hati-hati BoJ dalam mengakhiri stimulus moneter skala besar yang telah diberlakukan selama lebih dari satu dekade.
Kebijakan ini diambil di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah serta meningkatnya ketegangan perdagangan akibat perang tarif yang dipicu oleh Amerika Serikat. Kedua situasi tersebut menambah tantangan bagi BoJ dalam menaikkan suku bunga yang masih rendah dan memangkas neraca keuangannya yang sudah melebar hingga seukuran ekonomi nasional.
"Dalam pandangan kami, terdapat banyak ketidakpastian terkait prospek ekonomi. Secara khusus, arah kebijakan perdagangan dan kebijakan lain di berbagai negara belum pasti, dan belum jelas bagaimana reaksi aktivitas ekonomi global serta harga-harga di luar negeri," tulis BoJ dalam pernyataan resminya seperti dikutip dari Reuters.
Naoki Tamura, salah satu anggota dewan BoJ, tidak setuju dengan keputusan tersebut. Ia mengusulkan agar pengurangan obligasi tetap dilakukan sebesar ¥400 miliar per kuartal pada 2026.
Setelah pengumuman ini, imbal hasil obligasi pemerintah Jepang (JGB) naik, dengan yield acuan 10 tahun bertambah 3 basis poin menjadi 1,48%.
Langkah BoJ untuk memperlambat pengurangan neraca mencerminkan kekhawatiran akan potensi keguncangan pasar, terutama setelah lonjakan tajam yield obligasi jangka sangat panjang bulan lalu.
“Keputusan hari ini tergolong pro-pasar. Dengan memperlambat laju pengurangan obligasi, BoJ turut menekan potensi kenaikan suku bunga jangka panjang,” jelas Saisuke Sakai, ekonom senior dari Mizuho Research & Technologies di Tokyo.
BoJ menyampaikan bahwa tinjauan tengah tahun terhadap program tapering fiskal 2026 akan dilakukan dalam rapat kebijakan bulan Juni tahun depan.
"Jika suku bunga jangka panjang naik terlalu cepat, kami akan segera merespons, misalnya dengan meningkatkan pembelian obligasi," tulis BoJ, sembari menambahkan bahwa kepemilikan obligasi pemerintah Jepang oleh bank sentral akan turun sekitar 16–17% pada Maret 2027 dibandingkan saat ini.
Saat ini, pasar sedang menunggu bagaimana Gubernur BoJ Kazuo Ueda akan menyeimbangkan antara risiko dari tarif tinggi AS dan tekanan inflasi domestik.
BoJ sebelumnya telah mengakhiri kebijakan kontrol kurva imbal hasil (yield curve control) dan memulai pengurangan besar-besaran terhadap pembelian obligasi tahun lalu. Pada Januari, suku bunga jangka pendek dinaikkan ke 0,5% karena dipandang bahwa Jepang semakin dekat mencapai target inflasi berkelanjutan sebesar 2%.
Namun, proses normalisasi kebijakan BoJ kini berada dalam situasi sulit, terutama karena tarif tinggi AS memberikan tekanan tambahan pada perekonomian Jepang yang bergantung pada ekspor. Bahkan, dewan BoJ memangkas proyeksi pertumbuhan dan inflasi pada 1 Mei.
Pada hari Senin, Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba dan Presiden AS Donald Trump menyepakati untuk melanjutkan dialog perdagangan, tetapi tidak berhasil mencapai kesepakatan penting terkait pengurangan tarif yang mengancam perekonomian Jepang.
Situasi geopolitik yang memanas antara Iran dan Israel turut menjadi hambatan bagi pembuat kebijakan, karena dikhawatirkan dapat memicu lonjakan harga minyak mentah dan meningkatkan ketidakstabilan pasar global.
Namun, jika BoJ terlalu lama menunda kenaikan suku bunga, ada risiko bahwa mereka tertinggal dalam merespons tekanan inflasi. Hal ini mengingat banyak perusahaan telah mulai meneruskan kenaikan harga bahan baku dan upah tenaga kerja kepada konsumen.
Inflasi inti Jepang mencapai 3,5% pada bulan April — tertinggi dalam lebih dari dua tahun — jauh melebihi target inflasi BoJ sebesar 2%. Hal ini disebabkan terutama oleh lonjakan harga bahan makanan sebesar 7%.
BoJ tetap berpegang pada pandangannya bahwa inflasi akan meningkat secara bertahap, terutama karena adanya kekurangan tenaga kerja.
“Kami menilai bahwa BoJ memang perlu mulai menormalisasi kebijakannya karena inflasi terlihat menetap di atas target 2%,” kata Khoon Goh, kepala riset Asia di ANZ yang berbasis di Singapura.
“Pelemahan yen juga memperparah tekanan inflasi, apalagi dengan kenaikan harga minyak akibat ketidakpastian geopolitik. Ini membuat risiko kenaikan inflasi dalam waktu dekat semakin nyata, apalagi mengingat Jepang adalah pengimpor minyak utama,” lanjutnya.
Pengurangan stimulus oleh Jepang dapat meningkatkan risiko keluarnya arus modal asing dan memberi tekanan pada nilai tukar rupiah, meskipun dampaknya tidak sebesar pengurangan stimulus oleh Amerika Serikat. Oleh karena itu, perlambatan tapering oleh BoJ ini justru bisa memberikan dampak positif bagi Indonesia.
Keputusan BoJ untuk tidak agresif dalam mengurangi stimulus dinilai mendukung stabilitas pasar. Kebijakan ini membantu meredam potensi lonjakan mendadak pada imbal hasil obligasi Jepang.
Dengan demikian, investor Jepang tidak akan tergesa-gesa menarik dana dari pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Artinya, arus modal asing keluar dari Indonesia akibat keputusan BoJ hari ini akan cenderung kecil atau bahkan netral.
Karena kebijakan normalisasi BoJ dilakukan secara hati-hati, maka tekanan terhadap nilai tukar rupiah dari pergerakan yen juga relatif terbatas. Namun, rupiah tetap rentan terhadap tekanan dari dolar AS karena ketidakpastian global, terutama terkait perang dagang dan konflik Israel-Iran.
Dengan sikap BoJ yang tidak agresif ini, tekanan terhadap suku bunga global juga tidak meningkat drastis.
Kondisi ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) di 5,50% demi menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. BI pun tidak perlu tergesa-gesa menyesuaikan suku bunga apabila tekanan dari pasar global masih dapat dikendalikan.
Sumber: cnbcindonesia.com
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital
DISCLAIMER
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.