
Crypto News
Deutsche Bank Resmi Siapkan Diri Jadi Mitra Perbankan Bullish - Bursa Kripto Raksasa yang Terdaftar di NYSE!
/index.php
Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 18 March 2025 Waktu baca 5 menit
Tren kenaikan impor barang konsumsi yang biasanya terjadi menjelang Ramadan dan Lebaran justru mengalami penurunan drastis pada 2025. Para ekonom menilai kondisi ini sebagai indikasi melemahnya daya beli masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), nilai kumulatif impor barang konsumsi pada Januari-Februari 2025 hanya mencapai US$ 3,11 miliar, turun 14,28% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$ 3,63 miliar.
Secara khusus, pada Februari 2025—sebulan sebelum Ramadan dan Idulfitri 1446 H—impor barang konsumsi tercatat sebesar US$ 1,47 miliar, turun 10,61% dibandingkan Januari 2025 yang mencapai US$ 1,64 miliar. Jika dibandingkan dengan Februari 2024 yang mencapai US$ 1,86 miliar, penurunannya bahkan lebih tajam, mencapai 21,05%.
Situasi ini berbanding terbalik dengan tren di Februari 2024, di mana impor barang konsumsi justru meningkat 22,73% dibandingkan tahun sebelumnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai perbedaan signifikan dalam tren impor ini erat kaitannya dengan daya beli masyarakat. Ia menjelaskan bahwa pada 2024, konsumsi pemerintah dan belanja Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) meningkat tajam karena momentum Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif, yang berdampak positif terhadap konsumsi rumah tangga.
Akibatnya, inflasi tahun lalu mencapai 2,75% secara tahunan (year-on-year/yoy), berbeda dengan Februari 2025 yang justru mengalami deflasi sebesar 0,09% yoy.
Namun, Faisal menegaskan bahwa tren peningkatan impor barang konsumsi juga terjadi pada Februari 2023 meskipun tanpa faktor pemilu, karena bertepatan dengan persiapan Ramadan dan Lebaran. Saat itu, impor barang konsumsi meningkat 6,42%, sementara inflasi melonjak hingga 5,47% yoy.
Direktur Riset Bright Institute, Andri Perdana, menyebut anjloknya impor barang konsumsi menjelang Ramadan 2025 sebagai anomali yang mencerminkan daya beli masyarakat yang belum pulih. Ia mencatat bahwa tren pelemahan daya beli ini telah terjadi sejak awal 2023.
Data menunjukkan bahwa pada Februari 2025, impor barang konsumsi turun 21,05% secara tahunan (yoy) dan 10,61% secara bulanan (month-to-month/mtm). Bahkan pada Januari 2025, penurunannya sudah mencapai 7,16% yoy atau 28,65% mtm.
Menurut Andri, penurunan terbesar dalam impor barang konsumsi berasal dari kategori buah-buahan, yang turun US$ 60,9 juta mtm. Impor jeruk mandarin anjlok US$ 29,5 juta, sementara apel turun US$ 17,9 juta, yang sebagian besar dipengaruhi oleh berakhirnya perayaan Imlek.
Namun, Andri menegaskan bahwa penurunan ini bukan semata akibat faktor musiman. Bahkan setelah periode Imlek berlalu, impor barang konsumsi tidak menunjukkan pemulihan, melainkan terus menurun.
Impor daging hewan juga mengalami penurunan drastis sebesar 44,8% menjelang Ramadan dan Lebaran 2025. Andri menduga bahwa perubahan kebijakan kuota impor daging kerbau yang kini lebih banyak dikelola oleh BUMN menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap penurunan ini.
Ia menilai bahwa permintaan barang konsumsi masih rendah akibat daya beli masyarakat yang melemah. Hal ini membuat banyak produk konsumsi tidak terserap pasar, sehingga insentif untuk mengimpor pun berkurang.
Senada dengan Andri, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa tren penurunan impor barang konsumsi sejalan dengan deflasi harga bahan makanan sebesar -0,7% mtm pada Februari 2025. Menurutnya, rendahnya permintaan dalam negeri menjadi penyebab utama turunnya harga, bukan kelangkaan barang.
Bhima juga menyoroti bahwa anomali ini belum pernah terjadi sebelumnya. Pada 2024, impor barang konsumsi masih menunjukkan pertumbuhan positif menjelang Ramadan. Ia menilai penurunan ini bertentangan dengan kebijakan impor yang lebih longgar dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024.
"Penurunan impor di tengah kebijakan yang mendukung impor merupakan kontradiksi. Dengan jumlah penduduk yang besar, seharusnya permintaan meningkat, tetapi kenyataannya justru turun. Ini mengindikasikan risiko resesi ekonomi yang semakin nyata," tegas Bhima.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai merosotnya impor barang konsumsi menjelang hari raya mencerminkan lemahnya daya beli akibat menurunnya pendapatan masyarakat, yang dipengaruhi oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
Ia pun mendesak pemerintah untuk segera merespons dengan kebijakan ekonomi ekspansif guna mencegah dampak lebih lanjut terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025.
Sumber: cnbcindonesia.com
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital
DISCLAIMER
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.