
Berita Terkini
Purbaya Beri Tenggat 16 Hari untuk Kementerian Selesaikan Anggaran
/index.php
Investasi Digital - Diposting pada 29 April 2025 Waktu baca 5 menit
Keputusan LG Energy Solution Ltd (LGES) mundur dari Proyek Titan semakin memperpanjang daftar investor asing yang meninggalkan Indonesia, di tengah ambisi besar negara ini untuk menjadi pusat produksi baterai kendaraan listrik dunia.
Pada Juni 2024, dua perusahaan Eropa, BASF SE dan Eramet SA, juga memilih hengkang dari megaproyek smelter nikel Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara, yang seharusnya mendukung rantai pasokan baterai EV nasional.
Dalam periode kurang dari 10 bulan, Indonesia telah kehilangan setidaknya tiga investor besar di sektor baterai kendaraan listrik.
Tak hanya itu, hingga tahun 2025, belum ada kejelasan lanjutan mengenai beberapa proyek yang melibatkan investor asing lain seperti Hon Hai Precision Industry Co (Foxconn) dan Britishvolt.
Pada April 2025, LGES mengumumkan keputusannya menarik diri dari proyek senilai US$7,7 miliar (sekitar Rp129,84 triliun) karena alasan "perubahan kondisi pasar."
Proyek Titan sendiri awalnya digarap bersama konsorsium Korea Selatan dan Indonesia Battery Corporation (IBC).
Namun, Menteri Investasi Rosan Roeslani menjelaskan bahwa penghentian kerja sama ini sebenarnya merupakan inisiatif pemerintah, akibat lamanya proses negosiasi dengan LGES. Surat terminasi diterbitkan pada 31 Januari 2025 oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.
Sebagai gantinya, Zhejiang Huayou Cobalt Co dari China ditunjuk untuk memimpin konsorsium dalam Proyek Titan, tanpa perubahan besar terhadap keseluruhan rencana hilirisasi nikel nasional.
Di pertengahan 2024, proyek Sonic Bay senilai US$2,6 miliar resmi kehilangan BASF dan Eramet.
Sonic Bay adalah smelter berbasis teknologi HPAL yang dirancang menghasilkan bahan baku baterai EV. Namun, BASF membatalkan investasinya setelah evaluasi internal, sementara Eramet mundur karena khawatir atas keterbatasan sumber daya di area Weda Bay yang terlalu padat dengan proyek smelter lain.
Bruno Faour dari Eramet Indonesia menyebutkan, tantangan seperti keterbatasan air, lahan, dan pasokan bijih menjadi alasan utama hengkangnya perusahaan tersebut.
Investasi Foxconn di Indonesia belum menunjukkan kemajuan berarti. Meski sudah menandatangani MoU pada 2022, hingga 2025 belum ada realisasi proyek besar, akibat negosiasi yang belum selesai.
Begitu juga dengan Britishvolt, yang rencananya akan membangun fasilitas produksi nikel sulfat untuk baterai, tetapi hingga kini belum terlihat perkembangan konkret, dipengaruhi oleh ketidakpastian global.
Sumber: bloombergtechnoz.com
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital
DISCLAIMER
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.