
Bisnis | Ekonomi
Timah RI Diselundupkan ke Negara Tetangga, Jumlahnya Fantastis!
/index.php
Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 18 June 2025 Waktu baca 5 menit
Ekspor Jepang mengalami penurunan untuk pertama kalinya dalam delapan bulan terakhir pada Mei 2025, di tengah tekanan dari kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Penurunan ini turut menambah kekhawatiran akan potensi terjadinya resesi, setelah sebelumnya ekonomi Jepang mengalami kontraksi pada kuartal pertama tahun ini.
Menurut data dari Kementerian Keuangan Jepang yang dilansir Bloomberg pada Rabu (18/6/2025), nilai ekspor menurun 1,7% secara tahunan (year-on-year), terutama akibat berkurangnya pengiriman mobil, baja, dan bahan bakar mineral. Walaupun penurunan ini lebih kecil dari estimasi median analis sebesar 3,7%, data tersebut menunjukkan bahwa eksportir kemungkinan besar telah menanggung beban tarif dengan menurunkan harga. Hal ini tercermin dari volume ekspor yang justru meningkat sebesar 1,8%.
Impor Jepang juga mengalami penurunan sebesar 7,7%, terutama disebabkan oleh menurunnya impor minyak mentah dan batu bara. Akibatnya, neraca perdagangan Jepang mencatat defisit sebesar ¥637,6 miliar atau sekitar US$4,4 miliar, memburuk dibandingkan bulan sebelumnya dan menjadi defisit bulanan kedua berturut-turut.
Situasi ini memperkuat kekhawatiran bahwa ekonomi Jepang berpotensi kembali menyusut pada kuartal kedua 2025, yang berarti masuk ke dalam kategori resesi teknikal. Di sisi lain, konsumsi domestik masih lemah karena inflasi terus melampaui kenaikan upah.
“Dampak dari kebijakan tarif kini mulai terasa, dan hal itu memang sudah diantisipasi sebelumnya,” ujar Taro Saito, Kepala Riset Ekonomi di NLI Research Institute. Ia menambahkan bahwa kejutan justru datang dari volume ekspor yang tetap positif. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa perusahaan Jepang menurunkan harga demi menjaga daya saing, yang berdampak pada keuntungan mereka—dan itu bukanlah pertanda baik.
Presiden Trump memberlakukan tarif sebesar 25% terhadap impor mobil dan suku cadang dari Jepang, serta tarif dasar sebesar 10% untuk barang-barang Jepang lainnya. Pada awal Juni, tarif untuk baja dan aluminium juga dilipatgandakan menjadi 50%.
Tarif ini tetap diberlakukan sementara waktu setelah Trump dan Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, gagal mencapai kesepakatan dalam pertemuan sela KTT G7, meskipun telah dilakukan negosiasi bilateral selama dua bulan. Tarif menyeluruh sebesar 10% direncanakan naik menjadi 24% pada 9 Juli, sesuai pengumuman pada bulan April.
Ekspor mobil Jepang ke Amerika Serikat yang menyumbang sekitar seperempat dari total ekspor ke negara tersebut turun 24,7% dari sisi nilai, namun hanya turun 3,9% dari sisi volume. Hal ini mengindikasikan bahwa produsen mobil Jepang menurunkan harga untuk menjaga volume ekspor.
Secara keseluruhan, ekspor Jepang ke AS turun 11,1%, sedangkan impor dari AS turun 13,5%. Meski begitu, Jepang tetap mencatat surplus perdagangan sebesar ¥451,7 miliar dengan Amerika Serikat, yang terus menjadi sorotan dalam upaya Washington mengurangi ketimpangan neraca dagang.
Sementara itu, ekspor Jepang ke Tiongkok turun 8,8%, tetapi ekspor ke Eropa naik 4,9%. “Pertanyaan utama dalam negosiasi Jepang-AS adalah apakah kenaikan tarif lebih lanjut dapat dicegah. Saya memperkirakan tarif 10% akan tetap diberlakukan, namun jika kembali ke 24%, dampaknya terhadap ekonomi akan sangat besar,” ujar Saito.
Pada Mei, rata-rata nilai tukar yen terhadap dolar AS berada di level 143,97, atau menguat 7,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan nilai yen biasanya menekan nilai ekspor dalam denominasi dolar ketika dikonversikan ke dalam yen.
Dalam kondisi ketidakpastian terkait tarif ini, Bank Sentral Jepang (BOJ) memilih untuk mempertahankan suku bunga acuan pada Selasa (17/6/2025) dan memperlambat rencana pengurangan pembelian obligasi yang akan dimulai tahun depan.
Dalam pernyataan kebijakannya, BOJ menyebut bahwa masih banyak ketidakpastian terkait dampak kebijakan perdagangan global terhadap perekonomian dan inflasi. Gubernur BOJ, Kazuo Ueda, dalam konferensi pers usai pengumuman tersebut menyatakan bahwa meskipun sentimen pasar memburuk, kondisi ekonomi riil masih cukup stabil, dan pihaknya akan terus memantau data untuk langkah kebijakan selanjutnya. Data ekspor yang lemah ini diperkirakan akan menjadi perhatian khusus bagi BOJ ke depannya.
Gagalnya Ishiba mencapai kesepakatan dagang di sela KTT G7—yang sebelumnya disebut sebagai momen penting dalam negosiasi—berpotensi berdampak negatif terhadap posisinya menjelang pemilu nasional yang diperkirakan akan berlangsung bulan depan. Meski begitu, Ishiba masih bisa mendapatkan simpati publik dengan menyampaikan bahwa kepentingan nasional lebih penting daripada buru-buru menandatangani kesepakatan yang tidak menguntungkan.
Ishiba sendiri telah menyetujui sejumlah kebijakan darurat untuk membantu rumah tangga dan pelaku usaha menghadapi dampak tarif. Namun, dengan tekanan inflasi yang berkelanjutan, ia kini mempertimbangkan pemberian bantuan tunai langsung, sementara partai oposisi menyerukan pemotongan pajak penjualan.
Sumber: bisnis.com
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital
DISCLAIMER
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.