Bisakah Kinerja Whoosh Diselamatkan? Ini Strategi agar Tak Terus Merugi

Berita Terkini - Diposting pada 30 October 2025 Waktu baca 5 menit

Ilustrasi: Penumpang berjalan disamping kereta cepat Whoosh beberapa waktu silam. Foto: Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres

Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh kembali menjadi sorotan publik, terutama terkait beban keuangannya.
Sejak resmi beroperasi penuh pada Oktober 2023, proyek yang digagas di masa pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) ini masih menghadapi tantangan pembiayaan, khususnya dalam hal utang.

 

Whoosh dibangun dengan total investasi sebesar US$7,2 miliar atau sekitar Rp116,54 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.186 per dolar AS). Nilai ini sudah termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,21 miliar dari estimasi awal US$6,05 miliar.
Meski demikian, nilai investasi tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan tawaran Jepang yang sempat mengajukan US$6,2 miliar.

 

Dari total biaya US$7,2 miliar, sebanyak 75 persen berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB), sedangkan 25 persen sisanya merupakan setoran modal dari para pemegang saham. Modal ini terdiri dari gabungan BUMN Indonesia melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebesar 60 persen, dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. sebesar 40 persen.

 

BUMN yang tergabung dalam PSBI antara lain: PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI (58,53%), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (33,36%), PT Jasa Marga (Persero) Tbk (7,08%), serta PT Perkebunan Nusantara I (1,03%).
Pinjaman dari CDB dikenakan bunga sebesar 3,3 persen dengan tenor hingga 45 tahun.

 

Kondisi tersebut menyebabkan proyek Whoosh menjadi beban keuangan bagi PT KAI, yang mencatat kerugian sekitar Rp1 triliun pada semester I tahun 2025.
Kerugian ini muncul karena KAI merupakan pemegang saham mayoritas di PSBI, dengan porsi 58,53 persen. Nilai kerugian bersih PSBI yang dikontribusikan kepada KAI tercatat Rp951,48 miliar per Juni 2025.

 

Namun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemerintah akan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membantu menanggung utang proyek tersebut. Menurutnya, pembiayaan proyek kereta cepat menjadi tanggung jawab Danantara, lembaga yang menaungi proyek tersebut, sehingga tidak membebani fiskal negara.
Apalagi, dividen BUMN yang sebelumnya masuk ke APBN kini telah disetorkan ke Danantara.

 

“Karena ini berada di bawah Danantara, mereka sudah punya sistem manajemen dan dividen sendiri, yang rata-rata mencapai sekitar Rp80 triliun per tahun,” ujar Purbaya.

Lantas, apa yang membuat Whoosh merugi dan langkah apa yang perlu dilakukan?

 

Menurut Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, hal tersebut sebenarnya wajar untuk proyek kereta cepat di tahap awal operasional.
Hampir semua negara yang mengembangkan proyek serupa juga mengalami kerugian pada fase awal karena biaya investasi awal untuk infrastruktur, teknologi, peralatan, dan lahan sangat besar.

 

Sebagai perbandingan, Jepang dan Tiongkok pun membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum proyek kereta cepat mereka mencapai titik impas.
Oleh karena itu, kerugian di awal bukan berarti kegagalan, tetapi bagian dari fase normal pembangunan proyek transportasi strategis jangka panjang.

 

Namun, menurut Ronny, permasalahan utama Whoosh bukan sekadar kerugian awal, melainkan besarnya utang yang tidak dapat tertutupi oleh pendapatan bisnis.
Hal ini terjadi karena nilai proyek yang disepakati sejak awal dianggap terlalu tinggi.

 

Selain itu, tingkat keterisian penumpang (load factor) belum optimal karena rute baru beroperasi penuh belum lama. Integrasi antarmoda menuju wilayah sekitar Whoosh juga belum maksimal, dan pola mobilitas masyarakat masih dalam tahap penyesuaian.

 

Ronny menjelaskan bahwa proyek transportasi publik seperti kereta cepat umumnya membutuhkan waktu 5–10 tahun untuk mencapai titik impas.
Kecepatan pencapaian ini tergantung pada strategi tarif, frekuensi perjalanan, serta keterpaduan dengan moda transportasi lain.

 

“Jika konektivitas—misalnya ke Bandung, Tegalluar, dan kawasan transit baru—dapat ditingkatkan, serta promosi wisata dan bisnis di jalur Whoosh diperkuat, potensi peningkatan penumpang sangat besar. Dalam jangka menengah, sekitar 3–5 tahun ke depan, kinerja Whoosh bisa membaik jika strategi bisnis dan tata kelolanya diperkuat,” ujarnya.

Untuk memperbaiki kinerja Whoosh, Ronny menyarankan tiga langkah utama pemerintah.

 

Pertama, memperkuat integrasi transportasi dan tata ruang, agar akses ke stasiun Whoosh lebih mudah dan nyaman.
Kedua, memberikan insentif kebijakan, seperti dukungan pajak atau subsidi sementara untuk menjaga tarif tetap kompetitif.
Ketiga, menerapkan strategi bisnis jangka panjang, termasuk mengembangkan kawasan ekonomi dan komersial di sekitar stasiun (Transit Oriented Development/TOD) agar pendapatan tidak hanya berasal dari tiket, tetapi juga dari bisnis properti, iklan, dan kemitraan swasta.

 

Ronny menegaskan, jika kerugian dan beban utang Whoosh dibiarkan tanpa strategi yang jelas, hal itu berpotensi menekan keuangan KAI dan berdampak pada proyek transportasi lainnya.
Oleh karena itu, pemerintah dan BUMN perlu segera melakukan restrukturisasi pembiayaan, misalnya dengan memperpanjang tenor pinjaman, mengonversi sebagian utang menjadi ekuitas pemerintah, atau mencari mitra strategis baru.

 

“Tujuannya agar beban bunga berkurang dan arus kas operasional tetap sehat. Yang penting bukan hanya menutup kerugian jangka pendek, tetapi memastikan model bisnis Whoosh berkelanjutan serta memberikan nilai tambah bagi perekonomian sekitar,” ujarnya.

 

Sementara itu, Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai kinerja Whoosh belum optimal karena beban tetap dan biaya pendanaan masih terlalu besar dibandingkan dengan pendapatan tiket.

 

Ia mencatat, jumlah penumpang Whoosh meningkat hingga 9,3 juta orang pada pertengahan Mei 2025, dengan rekor harian mencapai 25 ribu penumpang. Namun, kontribusi tersebut belum cukup menutup kerugian sekitar Rp1 triliun pada semester I 2025.

 

“Kombinasi tenor pinjaman jangka panjang, bunga tinggi dari pinjaman tambahan, serta integrasi feeder yang belum lancar, membuat percepatan peningkatan load factor dan pendapatan non-tarif tertahan. Sementara itu, proses restrukturisasi dengan pihak Tiongkok masih berjalan, sehingga beban bunga efektif belum menurun,” jelasnya.

 

Syafruddin berpendapat bahwa kinerja Whoosh bisa meningkat setelah dua prasyarat utama terpenuhi: pertama, restrukturisasi keuangan yang menurunkan beban bunga, dan kedua, strategi komersial yang meningkatkan pendapatan per kursi.

 

Ia menyarankan agar 12–24 bulan pertama setelah restrukturisasi digunakan sebagai fase percepatan okupansi melalui dynamic pricing, paket wisata terintegrasi, dan monetisasi stasiun.
Kemudian, 24–36 bulan berikutnya menjadi fase penguatan pendapatan non-tarif dari sektor ritel, iklan, MICE, dan TOD.

 

“Dengan tahapan seperti ini, arus kas operasi berpeluang mencapai titik impas, sementara kewajiban kepada kreditur bisa dikelola secara lebih terkendali,” pungkasnya.

Sumber: cnnindonesia.com

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital

 

DISCLAIMER

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.