
Berita Terkini
Purbaya Beri Tenggat 16 Hari untuk Kementerian Selesaikan Anggaran
/index.php
Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 05 December 2023 Waktu baca 5 menit
DIGIVESTASI - Dalam tragedi Rohingya, Aceh adalah ekspresi harapan dan tempat solidaritas kemanusiaan. Ketika banyak orang lain yang menolak, masyarakat Aceh menyambut hangat kelompok pengungsi tersebut seperti keluarga. Namun itu sebelum simpatinya memudar akibat kelakuan buruk para tamu di Tanah Rencong.
Di tengah gelombang pengungsi Rohingya dua pekan lalu, perubahan sikap sebagian warga tercermin. Yang tidak biasa adalah warga sekitar dilarang mendaratkan perahu di beranda Mekah. Hal ini akibat rasa muak mereka terhadap tindakan para pengungsi sebelumnya yang dituduh mengabaikan norma adat dan syariat Islam.
Pengungsi Rohingya dicap negatif karena sering mendapat masalah dan enggan menjaga kebersihan diri. Mereka dikenal nekat dan terkadang tak segan-segan melakukan hal-hal di luar aturan, misalnya kabur dari tempat penampungan hewan. Selain faktor perilaku, penolakan tersebut juga dipengaruhi oleh keterbatasan kapasitas pemerintah daerah.
Jejak Pengungsi Rohingya
Gelombang kemarahan masyarakat memang sudah terlihat sejak lama. Protes serupa yang dilakukan warga kota Loksmawe juga terjadi di pinggiran provinsi Birweng dan Aceh Utara pada akhir tahun 2022. Tindakan sebagian besar pengungsi Rohingya dinilai subversif dan subversif terhadap ketertiban umum.
Rohingya adalah minoritas Muslim di Myanmar. Ketika ultranasionalis Budha memperoleh kekuatan, kehidupan mereka ditindas. Selain tidak diakui sebagai warga negara, warga Rohingya juga mendapat perlakuan kejam dan sadis. Ancaman genosida membuat mereka terkatung-katung di lautan, sehingga mereka mendapat julukan “manusia perahu”.
Kata Rohingya konon berasal dari kata Arab ram yang berarti rahmat. Ada yang mengatakan itu berasal dari kata Sansekerta yang berarti gunung. Haradan Kumar Mohajan, asisten profesor di Bangladesh Premier University, mengatakan asal usul orang Rohingya masih bisa diperdebatkan. Istilah Rohingya tidak tercatat dalam sensus Inggris tahun 1824 dan baru dikenal luas pada tahun 1950-an. Namun, ada pendapat bahwa itu sudah ada bahkan sebelum abad ke-20.
Rohingya diyakini berasal dari Chittagong, Bangladesh, dan mulai bermigrasi ke Myanmar (sebelumnya Burma) pada abad ke-19. Tetangga dan kerabat mereka, Bangladesh, adalah tempat perlindungan penting bagi Rohingya dari kekacauan di negara bagian Rakhine, Myanmar. Negara ini menampung sekitar 1 juta pengungsi, menurut Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Hingga Oktober 2023, jumlahnya sebanyak 967.842 orang. Di Bangladesh, kehidupan para pengungsi Rohingya sangat dikhawatirkan. Pilihan perencanaan masa depan terbatas dan ketidakpastiannya tinggi. Keadaan ini menyebabkan mereka berbondong-bondong ke banyak negara, namun seringkali ditolak. Setelah tidak diterima di banyak tempat, uluran tangan diulurkan dari provinsi paling barat Indonesia, Aceh.
Seperti Bangladesh, Indonesia hanyalah tempat transit. Destinasi impian warga Rohingya adalah negara maju seperti Australia. Di sisi lain, Indonesia juga belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 sehingga tidak bertanggung jawab atas akomodasi permanen pengungsi dan pencari suaka. Menurut laporan UNHCR, pada Februari 2023, Indonesia menampung 12.805 pengungsi dan pencari suaka dari 51 negara.
Sekitar 8% dari mereka adalah Rohingya. Mereka sebelumnya menarik perhatian karena sering berusaha melarikan diri dari tempat penampungan hewan dan menyelundupkan diri ke negara tetangga, Malaysia. Malaysia adalah surga pengungsi Rohingya terbesar kedua setelah Bangladesh. Sekitar 90% dari mereka tinggal di kedua negara tersebut. Berdasarkan data UNHCR, hingga Oktober 2023, terdapat total 184.220 pengungsi dan pencari suaka di Malaysia.
Dari jumlah tersebut, 107.030 adalah warga Rohingya. Meski berperan penting dalam upaya penyelamatan masyarakat Rohingya, baik Malaysia maupun Bangladesh belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Seperti Indonesia, tidak ada negara yang bertanggung jawab menampung pengungsi. Niat baik ini dipengaruhi oleh persatuan di kalangan umat Islam.
Dampak Ekonomi
UNHCR mencatat total populasi pengungsi global mencapai 35,3 juta pada Juni 2023. Jumlah ini mencakup 29,4 juta orang yang berada di bawah mandat UNHCR dan 5,9 juta orang lainnya berada di bawah badan bantuan PBB UNRWA. Selain pengungsi, setidaknya 5,4 juta orang saat ini sedang mencari suaka.
Hingga 76% pengungsi dunia tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Misalnya Indonesia. Saat ini, negara kita menduduki status sebagai negara berpendapatan menengah atas. Indonesia pertama kali menerima pengungsi Rohingya pada tahun 2015. Saat itu rombongan sedang terapung di perairan Aceh. Untuk memudahkan kehidupan mereka di pengungsian darurat, Kementerian Sosial RI mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2,3 miliar. Dana ini digunakan untuk menutupi kebutuhan sandang seperti selimut dan pakaian anak.
Pengungsi Rohingya terus berdatangan ke Myanmar akibat krisis yang tak kunjung usai di Myanmar. Namun kebijakan imigrasi yang ketat di negara tujuan seperti Australia dan Amerika Serikat menimbulkan permasalahan bagi negara transit seperti Indonesia. Jangka waktu penyimpanan yang lebih lama juga berimplikasi pada sektor ekonomi penerima.
Satria Rizaldi Archhatib, dalam penelitiannya yang bertajuk “Dampak Politik dan Ekonomi Krisis Pengungsi Rohingya: Tantangan dan Peluang Intervensi Kemanusiaan di Ruang Pasca-Konflik” (2021), berpendapat bahwa kehadiran pengungsi Rohingya dalam jangka panjang adalah Disebutkan bahwa itu bisa bermanfaat pada saat yang sama. . Seperti diketahui, Indonesia sedang memasuki masa bonus demografi. Artinya, jumlah penduduk usia kerja melimpah.
Hal ini perlu didukung oleh pembangunan industri dan infrastruktur untuk merangsang perekonomian. Namun, peluang ini berisiko hilang jika dana yang diperlukan untuk menutupi biaya perawatan pengungsi habis. Indonesia bukan satu-satunya negara transit yang terkena dampaknya, pengungsi Rohingya menyebabkan masalah sosial, lingkungan dan ekonomi di negara tetangga Myanmar, Bangladesh, yang telah menjadi tempat berlindung yang setia dan aman bagi kelompok etnis tersebut sejak tahun 1978.
Memang benar adanya. Pada tahun 2023, Pemerintah Bangladesh bekerja sama dengan UNHCR meminta negara mitra untuk membantu menggalang dana kemanusiaan untuk Rohingya. Jumlah yang dibutuhkan diperkirakan mencapai $876 juta atau setara Rp13,14 triliun (dengan asumsi nilai tukar Rp15.000/USD). Menampung jutaan pengungsi Rohingya dan memastikan kelangsungan hidup mereka membutuhkan biaya yang besar.
Selain itu, potensi kerugian sosial ekonomi juga harus diperhatikan. Kehadiran pengungsi dalam jangka panjang meningkatkan kejadian kekerasan berbasis gender hingga 50%, mengurangi layanan kesehatan bagi penduduk lokal, dan menciptakan konflik. Mereka juga mengikis persediaan air tanah, berkontribusi terhadap deforestasi dan kontaminasi lahan pertanian. Sekitar 3.500 hektar lahan ditemukan terkena dampak.
Itu bukan satu-satunya masalah. Meningkatnya jumlah pengungsi meningkatkan arus permintaan dan meningkatkan harga barang-barang kebutuhan pokok. Sekalipun pendapatan masyarakat tidak meningkat secara bersamaan. Kehadiran pengungsi tidak hanya menimbulkan tekanan inflasi tetapi juga berdampak pada penurunan upah dan pasar tenaga kerja bagi warga negara Bangladesh, khususnya di wilayah kamp pengungsi. Menurut penelitian, upah harian petani turun 50% dari tahun 2017 hingga 2019.
Pengungsi Rohingya rela dipotong gajinya karena mereka mendapat bantuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, situasinya sedikit berbeda di Malaysia. Andika Abu Wahab menunjukkan bahwa pengungsi Rohingya aktif berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi informal di negara tersebut.
Kegiatan-kegiatan ini secara kolektif memperkuat interaksi sosial pengungsi dan pada akhirnya meningkatkan kontribusi mereka terhadap pembangunan masyarakat. Keterlibatan mereka dalam perekonomian informal juga menunjukkan bahwa mereka memang sedang berusaha untuk mandiri atau mengurangi ketergantungan mereka pada dukungan tuan rumah. Temuan ini secara tidak langsung membantah kesalahpahaman bahwa etnis Rohingya di Malaysia terisolasi secara fisik dan ekonomi.
Meskipun mereka masih terbatas pada permukiman komunal, partisipasi dalam perekonomian informal terbukti bermanfaat bagi mereka yang berada di luar komunitas tersebut. Dengan kata lain, pengungsi Rohingya berkontribusi terhadap perekonomian domestik negara tuan rumah mereka. Oleh karena itu, mereka sebenarnya bisa dianggap sebagai populasi aktif yang memberikan nilai tambah bagi pembangunan ekonomi Malaysia.
Sumber: tirto.id
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital
DISCLAIMER
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.