Bahaya Besar! RI Terancam Jika Pendosa Pajak Dapat Tax Amnesty Lagi

Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 25 September 2025 Waktu baca 5 menit

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terlihat tetap bersikeras memberikan pengampunan bagi pelanggar pajak lewat wacana Tax Amnesty Jilid III.
Sejak November 2024, rancangan undang-undang (RUU) yang mengubah UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

 

Namun, langkah tersebut tidak menghasilkan keputusan, sehingga gagasan pengampunan pajak kembali diajukan dalam Prolegnas Prioritas 2026.

 

Akan tetapi, harapan itu sepertinya tidak mendapat dukungan penuh. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan penolakannya terhadap ide memberi pengampunan bagi pengemplang pajak.

 

Menurutnya, Tax Amnesty Jilid III justru memberikan pesan negatif bagi sistem perpajakan nasional.

 

“Itu memberi sinyal kepada pembayar pajak bahwa melanggar tidak masalah, karena nanti akan ada amnesti lagi. Jika setiap beberapa tahun ada tax amnesty, akhirnya semua orang akan menyembunyikan uangnya dan menunggu program berikutnya,” jelas Purbaya dalam Media Briefing di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (19/9).

 

“Setiap beberapa tahun kita meluncurkan tax amnesty — sudah ada jilid satu dan dua, lalu mungkin tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Pesannya menjadi: ‘Abaikan saja kewajiban pajak, nanti akan diputihkan lewat tax amnesty.’ Itu jelas tidak boleh terjadi!” tegasnya.

 

Program pengampunan pajak memang bukan hal baru. Tax Amnesty pertama dijalankan pada 2016–2017, ketika pemerintah berjanji hanya melaksanakannya sekali demi mendorong keterbukaan aset yang belum dilaporkan.

 

Program tersebut diikuti 956.793 wajib pajak dengan harta terungkap sebesar Rp4.854,63 triliun. Dari jumlah itu, negara memperoleh uang tebusan Rp114,02 triliun atau sekitar 69 persen dari target Rp165 triliun.

 

Namun, janji itu dilanggar dengan munculnya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berlangsung 1 Januari–30 Juni 2022. Sebanyak 247.918 wajib pajak mengikuti PPS dengan total aset yang diungkap Rp594,82 triliun, sehingga negara mengantongi PPh Rp60,01 triliun.

 

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (PK-TRI) Prianto Budi Saptono mengutip Pasal 23A UUD 1945, yang menyatakan bahwa pungutan pajak untuk negara harus berdasarkan undang-undang.

 

“Pembahasan undang-undang (Tax Amnesty Jilid III) wajib dilakukan bersama pemerintah dan DPR. Jika salah satu pihak tidak bersedia, maka undang-undang itu tidak akan pernah terwujud,” ujar Prianto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/9).

 

Ia memperingatkan bahwa penerapan amnesti pajak yang terlalu sering bisa menimbulkan dampak negatif, yakni menurunnya kepatuhan wajib pajak. Wajib pajak yang taat justru akan merasa diperlakukan tidak adil.

 

Terlebih, masyarakat sudah membayar pajak dengan tarif normal, sementara pengemplang pajak dapat membayar dengan tarif diskon.

 

“Karena itu, wajib pajak yang patuh bisa berpikir lebih baik menjadi tidak patuh karena bebannya lebih ringan. Banyak penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa semakin sering tax amnesty dilakukan, tingkat ketidakpatuhan justru meningkat. Alih-alih menjadi taat, para pengemplang hanya akan menunggu program berikutnya,” jelasnya.

 

Prianto menekankan bahwa tugas Menkeu Purbaya bukan hanya menolak Tax Amnesty Jilid III, tetapi juga membangun sistem perpajakan berbasis paradigma service and trust.

 

Dalam aspek pelayanan, otoritas pajak harus meningkatkan mutu layanan. Prinsip kebijakan seperti kemudahan administrasi, kesederhanaan sistem, perlakuan adil, dan kepastian hukum perlu ditegakkan.

 

Dari sisi kepercayaan, DJP harus menunjukkan pelayanan yang lebih baik sehingga masyarakat bersedia patuh secara sukarela.

 

“Otoritas pajak tidak perlu menerapkan paradigma cop and rob, di mana petugas merasa seperti polisi dan menganggap wajib pajak sebagai perampok. Jika itu yang terjadi, maka kepatuhan hanya bersifat terpaksa,” ujar Prianto.

 

Ia juga menekankan pentingnya memperbaiki sistem coretax. Menurutnya, sistem administrasi DJP tersebut masih belum stabil, sering mengalami gangguan, dan membatasi akses wajib pajak terhadap layanan.

 

Tax Amnesty Jilid III Bukan Solusi

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M Rizal Taufikurahman, mendukung sikap Menkeu Purbaya yang menolak ide Tax Amnesty Jilid III.

 

Namun, ia menilai penolakan Purbaya tidak otomatis menghapus dorongan DPR RI yang tetap menginginkan program tersebut. Rizal menilai Prolegnas hanya berfungsi sebagai daftar panjang agenda legislasi.

 

“Secara hukum, kuncinya tetap pada persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR. Tanpa dukungan pemerintah, tax amnesty tidak akan menjadi undang-undang,” tegas Rizal.

 

Menurutnya, penolakan Purbaya merupakan sinyal politik sekaligus fiskal bahwa pemerintah tidak mau mengorbankan kredibilitas sistem perpajakan demi penerimaan jangka pendek. Jika sikap konsisten dijaga, DPR hanya menghasilkan wacana, bukan kebijakan nyata.

 

Rizal menilai efek tax amnesty hanya bersifat sementara, terbukti dari program 2016 dan PPS 2022 yang hanya menambah penerimaan tebusan dan deklarasi aset, namun tidak memperbaiki rasio pajak.

 

Ia mencatat rasio pajak Indonesia masih stagnan di angka sekitar 10 persen dari PDB.

 

“Sebaliknya, biaya institusional sangat besar, mulai dari insentif bagi pengemplang, moral hazard, hingga persepsi ketidakadilan bagi wajib pajak patuh. Jadi, keuntungan jangka pendek tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang. Dalam kerangka konsolidasi fiskal 2025–2026, kebijakan yang merusak kredibilitas pajak justru kontraproduktif,” jelasnya.

 

“Jika skenario terburuk, yaitu Tax Amnesty Jilid III dipaksakan, dampaknya adalah wajib pajak akan memilih menunggu pemutihan berikutnya. Ini bukan sekadar risiko, melainkan pola yang sudah terlihat sejak 2016,” tambahnya.

 

Ia meminta pemerintah menyatakan secara tegas “tidak ada lagi tax amnesty” sebagai komitmen untuk mencegah moral hazard.

 

Selain itu, Rizal mendesak transparansi audit, pengurangan aturan khusus yang melemahkan basis PPh, serta penyederhanaan regulasi demi memperkuat rasio pajak secara berkelanjutan.

 

Menurutnya, amnesti hanya akan memperbesar defisit kepercayaan. Solusi nyata adalah penguatan enforcement shock dengan memanfaatkan data coretax, kepemilikan manfaat (beneficial ownership), serta kerja sama lintas lembaga.

 

“Tax Amnesty Jilid III bukan jawaban untuk fiskal jangka panjang, melainkan sekadar ilusi. Pemerintah harus konsisten menolak dan fokus pada reformasi struktural melalui coretax, intensifikasi, serta perluasan basis pajak. Kenaikan rasio pajak hanya bisa dicapai lewat kepatuhan berkelanjutan, bukan pemutihan yang berulang kali menggerus kredibilitas negara,” pungkas Rizal.

Sumber: cnnindonesia.com

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital

 

DISCLAIMER

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.