Inklusi Keuangan: Kunci Mengatasi Stagnasi dan Mengangkat Kelas Menengah

Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 20 September 2024 Waktu baca 5 menit

DIGIVESTASI - Kontroversi seputar Pajak Pertambahan Nilai Kegiatan Membangun Sendiri (PPN KMS) semakin mencuat, terutama terkait rencana kenaikan tarif dari 2,2% menjadi 2,4% pada 2025. Kenaikan ini sejalan dengan peningkatan tarif PPN umum dari 11% menjadi 12%, namun banyak pihak mengkritik kebijakan ini karena dinilai tidak adil, terutama bagi masyarakat kelas menengah dan bawah.

Achmad Nur Hidayat, seorang ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, menyatakan bahwa kebijakan tersebut perlu dievaluasi lebih dalam agar penerapannya benar-benar efektif dan adil. Menurutnya, alasan pemerintah menerapkan PPN KMS untuk menciptakan kesetaraan antara masyarakat yang membangun rumah dengan kontraktor dan yang membangun sendiri tidak tepat, karena kebijakan itu malah membebani masyarakat yang bukan target utamanya.

 

Achmad menyoroti bahwa indikator pajak berdasarkan luas bangunan minimal 200 meter persegi tidak selalu mencerminkan kemewahan. Di daerah pedesaan atau pinggiran kota, rumah dengan luas tersebut sering kali merupakan kebutuhan dasar, bukan barang mewah. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar kebijakan ini lebih menargetkan rumah mewah berdasarkan nilai properti, bukan sekadar luas bangunan.

Selain itu, Achmad mengkritik bahwa kenaikan tarif PPN KMS tidak tepat, karena pemerintah seharusnya bisa memaksimalkan potensi pajak properti lain seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), yang lebih efektif menyasar masyarakat kaya tanpa membebani mereka yang membangun rumah sendiri.

Achmad juga menekankan perlunya pemerintah fokus pada sektor properti dengan menciptakan kebijakan yang mendorong pembangunan perumahan rakyat dan memperbanyak stok rumah bersubsidi. Ini dinilai lebih adil dan efektif dalam membantu masyarakat memiliki rumah daripada menerapkan pajak tambahan seperti PPN KMS.

 

Dalam perspektif yang lebih luas, kelas menengah di Indonesia, yang sebelumnya menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi, kini mengalami tantangan serius. Penurunan jumlah kelas menengah dalam beberapa tahun terakhir menjadi sinyal penting, meskipun inklusi keuangan di Indonesia terus meningkat, mencapai 88,7% pada 2023.

Achmad menggarisbawahi bahwa inklusi keuangan bukan hanya soal akses fisik, tetapi juga tentang penggunaan aktif layanan keuangan. Masyarakat kelas menengah, terutama di luar Jawa, masih menghadapi tantangan dalam mengakses layanan keuangan, yang menghambat mereka memanfaatkan potensi inklusi keuangan sepenuhnya.

 

Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah perlu meningkatkan literasi keuangan, memperbaiki infrastruktur keuangan di daerah-daerah tertinggal, serta menciptakan kebijakan pro-investasi. Selain itu, pendidikan harus menjadi prioritas, karena pendidikan yang lebih tinggi berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi.

Achmad menekankan bahwa kebijakan inklusi keuangan yang lebih progresif dan fokus pada pendidikan serta literasi keuangan akan membantu kelas menengah Indonesia keluar dari stagnasi dan mendorong mobilitas sosial ke tingkat yang lebih tinggi.


Temukan berita dan artikel lainnya di Google Berita

Sumber: antaranews.com

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital

 

DISCLAIMER

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.