Manufaktur Tetangga RI Ambruk Berjamaah, Siapa Terparah?

Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 06 November 2023 Waktu baca 5 menit

Aktivitas manufaktur di negara-negara ASEAN mengalami penurunan, dipengaruhi oleh sentimen global yang terus berlanjut saat ini. Indeks Manufaktur PMI Indonesia turun menjadi 51,5 pada bulan Oktober 2023, dibandingkan dengan angka sebelumnya sebesar 52,3, yang merupakan posisi terendah dalam lima bulan terakhir. Meskipun mengalami penurunan, Indonesia masih mempertahankan fase ekspansi dalam indeks PMI selama 26 bulan terakhir. PMI menggunakan angka 50 sebagai patokan, di mana angka di atas 50 menunjukkan fase ekspansi dalam sektor manufaktur, sementara angka di bawah 50 mengindikasikan kontraksi.

 

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, Indonesia masih memiliki kinerja manufaktur yang relatif baik. Vietnam, Myanmar, dan Thailand, misalnya, mengalami penurunan PMI masing-masing menjadi 49,6, 49, dan 47,5. Di sisi lain, Malaysia tetap stagnan di angka 46,8.

 

Tidak hanya di ASEAN, bahkan negara besar seperti China dan India juga mengalami penurunan PMI manufaktur. PMI manufaktur China turun dari 50,6 menjadi 49,5, menandakan peralihan dari fase ekspansi ke kontraksi. Sementara itu, PMI manufaktur India turun secara signifikan, dari 57,5 menjadi 55,5.

 

Alasan di Balik Penurunan PMI Manufaktur

 

Penurunan aktivitas manufaktur di berbagai negara disebabkan oleh faktor-faktor seperti konflik di Timur Tengah, yang mengakibatkan kenaikan harga minyak dunia (Brent & WTI) yang signifikan, peningkatan biaya produksi/manufaktur, dan tekanan pada permintaan global.

 

Harga minyak dunia mengalami kenaikan yang cukup besar, terutama dari bulan Juni hingga akhir September 2023. Pada Juni 2023, harga minyak dunia berada di sekitar US$70 per barel, dan naik hingga sekitar US$90 per barel pada akhir September 2023, menunjukkan kenaikan sekitar 28,57% dalam tiga bulan.

 

Kenaikan harga minyak dunia berdampak pada biaya produksi, yang berpotensi meningkatkan inflasi di berbagai negara. Hal ini mendorong perusahaan untuk menaikkan harga jual produk mereka guna menjaga margin keuntungan di tengah permintaan global yang rendah.

 

Penurunan permintaan global tercermin dalam penurunan ekspor, terutama dari China, yang merupakan negara dengan ekspor terbesar di dunia. Ekspor China mengalami penurunan sejak Mei 2023 hingga September 2023.

 

PMI China juga mengalami penurunan signifikan, menurun dari fase ekspansi 50,6 pada September menjadi fase kontraksi 49,5 pada Oktober. China memiliki peran penting dalam ekonomi Asia dan berkontribusi sebesar 24% dari total ekspor Indonesia.

 

Penurunan ekspor dan impor China mencerminkan perlambatan ekonomi negara tersebut, yang disebabkan oleh permintaan global yang lesu terhadap produk-produk China dan melemahnya permintaan domestik. Pemulihan ekonomi China dari pandemi melambat dalam beberapa bulan terakhir, terutama karena krisis di sektor properti.

 

Bank Dunia pernah mengingatkan bahwa perlambatan ekonomi China merupakan salah satu risiko yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, meskipun dampaknya lebih terbatas dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Thailand. Bank Dunia juga mencatat bahwa simulasi perlambatan 1% di China dapat mengakibatkan penurunan 0,1 poin persentase dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia dan hampir 0,6 poin persentase di Malaysia.

Sumber: cnbcindonesia

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital

 

DISCLAIMER

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.