
Saham News
Investor Asing Diam-diam Borong 10 Saham Ini, Simak Daftarnya!
/index.php
Investasi Digital - Diposting pada 05 August 2025 Waktu baca 5 menit
Modal asing tercatat keluar dari pasar keuangan Indonesia pada akhir Juli hingga awal Agustus 2025. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), dalam periode transaksi 28–31 Juli 2025, investor asing mencatatkan aksi jual bersih atau net sell di semua instrumen.
Secara rinci, penjualan bersih terjadi di pasar saham sebesar Rp2,27 triliun, di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp1,37 triliun, serta di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp12,60 triliun.
Selama bulan Juli secara keseluruhan, aliran dana asing keluar terus berlanjut dan mencapai angka total Rp45,93 triliun. Tak hanya itu, pasar saham Indonesia juga mengalami tekanan dari investor asing, dengan net sell mencapai Rp1,74 triliun hanya dalam dua hari pertama bulan Agustus, yakni tanggal 1 dan 2. Bahkan, pada 31 Juli saja, aksi jual bersih asing sempat menembus angka Rp1,2 triliun.
Kepala Ekonom BCA, David Sumual, menjelaskan bahwa volatilitas pasar belakangan ini dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah perubahan harapan terhadap arah kebijakan moneter Amerika Serikat.
Tingginya angka inflasi yang melampaui prediksi serta sikap hawkish yang ditunjukkan dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) memperkecil kemungkinan bahwa The Fed akan segera memangkas suku bunga acuannya.
“Meski begitu, revisi terhadap data ketenagakerjaan AS yang diumumkan pada Jumat lalu berhasil menyeimbangkan sentimen tersebut, sekaligus memperbesar peluang pemangkasan suku bunga oleh The Fed di bulan September,” kata David kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/8/2025).
Selain faktor eksternal, kondisi ekonomi domestik juga menjadi perhatian investor. Menurut David, ekspektasi pasar terhadap data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II yang dirilis hari ini oleh Badan Pusat Statistik juga kurang menggembirakan.
“Khususnya karena proyeksi PDB kuartal kedua yang kurang meyakinkan, ditambah dengan potensi tekanan dari tarif ekspor. Namun, penyebab utama dari gejolak satu bulan terakhir ini lebih dipengaruhi oleh fluktuasi harapan terhadap kebijakan moneter AS,” jelasnya.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, juga berpendapat bahwa pelaku pasar global cenderung beralih ke instrumen investasi yang lebih aman atau safe haven seperti obligasi pemerintah AS, seiring dengan prospek ekonomi AS yang menunjukkan perbaikan, tercermin dari pertumbuhan PDB kuartal kedua yang mencapai 3,00%.
Selain itu, data ketenagakerjaan yang kuat dan melebihi ekspektasi pasar turut memperkuat pandangan bahwa ruang bagi The Fed untuk memangkas suku bunga akan lebih terbatas.
“Ini memperkuat ekspektasi investor bahwa penurunan suku bunga oleh The Fed kemungkinan tidak akan sebesar yang diperkirakan sebelumnya,” kata Josua kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/8/2025).
Dari sisi domestik, Josua juga melihat bahwa peluang Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga semakin terbatas, mengingat jarak suku bunga dengan AS yang terus menyempit.
“Walaupun secara fundamental ekonomi kita masih cukup solid, dengan inflasi yang tetap terkendali—yakni naik ke 2,37% secara tahunan pada Juli 2025—serta surplus neraca perdagangan yang bertahan selama 62 bulan berturut-turut, namun persepsi risiko terhadap Indonesia tetap meningkat,” tambahnya.
David menilai bahwa keluarnya dana asing dari pasar keuangan Indonesia saat ini perlu dilihat dari berbagai aspek eksternal.
Dalam dua hari terakhir, meningkatnya peluang pemangkasan suku bunga oleh The Fed justru berdampak pada normalisasi atau penurunan imbal hasil (yield).
“Namun kita baru akan melihat dampak nyata dari kebijakan tarif setelah tenggat 7 Agustus, yang kemungkinan akan mempengaruhi kondisi beberapa bulan mendatang,” ujar David.
Apabila kebijakan tarif tersebut berdampak negatif pada surplus perdagangan Indonesia, maka potensi penurunan yield SBN mengikuti penurunan yield US Treasury akan menjadi terbatas.
Di sisi lain, Josua mengungkapkan bahwa prediksi terkini menunjukkan potensi penguatan nilai tukar rupiah dalam tiga bulan mendatang, karena adanya perkiraan bahwa Fed Fund Rate akan diturunkan secara lebih agresif hingga 75 basis poin sepanjang 2025.
Selain itu, sikap Amerika Serikat yang lebih longgar dalam menerapkan tarif terhadap Indonesia—dengan penurunan dari 32% menjadi 19%—juga bisa mengurangi tekanan terhadap rupiah.
Josua menambahkan bahwa tren keluarnya dana asing ini dapat memberikan tekanan terhadap pasar keuangan domestik, terutama di pasar obligasi dan nilai tukar rupiah.
Tekanan ini terlihat dari meningkatnya yield obligasi pemerintah Indonesia secara bertahap dan melemahnya indeks obligasi negara sebesar 0,11% pada akhir Juli.
“Meski demikian, pasar obligasi domestik masih cukup tangguh berkat dukungan investor dalam negeri, khususnya dari sektor perbankan, yang tercatat membeli SBN lebih dari Rp50 triliun dalam satu pekan terakhir bulan Juli,” tutup Josua.
Sumber: cnbcindonesia.com
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital
DISCLAIMER
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.