
Berita Terkini
Awas! Perang AS - China Mengancam Dekat RI, Trump Siapkan Jet Rp23 Triliun Lawan Xi!
/index.php
Bisnis | Ekonomi - Diposting pada 08 October 2025 Waktu baca 5 menit
Penempatan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) pemerintah sebesar Rp200 triliun oleh Kementerian Keuangan di perbankan nasional hanya akan memberikan dampak besar terhadap perekonomian jika dialokasikan ke mekanisme pembiayaan produktif dengan pengambilan risiko yang terukur dan tepat sasaran.
Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Insight Kadin Indonesia Institute, Fakhrul Fulvian, yang juga menjabat sebagai Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas. Menurutnya, uang negara seharusnya menjadi pemicu keberanian bagi lembaga keuangan untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor riil, bukan sekadar menambah cadangan likuiditas perbankan tanpa arah yang produktif. Ia juga menegaskan bahwa Indonesia tidak sedang mengalami kekeringan likuiditas.
“Masalahnya bukan pada kekurangan uang, tetapi pada kurangnya keberanian untuk menyalurkannya secara sehat. Jika dana tersebut hanya berhenti di deposito atau reverse repo, dampaknya akan sangat terbatas,” ujar Fakhrul dalam catatannya, dikutip Rabu (8/10/2025).
Terkait hal tersebut, Fakhrul menilai bahwa kolaborasi dengan lembaga keuangan non-bank yang siap mengambil risiko secara terukur menjadi sangat penting.
Karena itu, ia menekankan perlunya memperluas pendekatan stimulus fiskal menjadi bentuk ekosistem kolaborasi berbagi risiko (risk-sharing ecosystem) yang melibatkan pemerintah, perbankan, lembaga penjamin, serta industri modal ventura.
Menurutnya, sistem pembiayaan nasional selama ini terlalu didominasi oleh lembaga perbankan yang cenderung berhati-hati, sementara pembiayaan berbasis ekuitas seperti modal ventura belum dimanfaatkan secara sistemik.
“Modal ventura bisa menjadi lapisan keberanian dalam sistem keuangan kita. Bank berperan menjaga likuiditas, pemerintah menanggung sebagian risiko, sementara venture capital menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor inovatif,” jelas Fakhrul.
Oleh karena itu, lanjutnya, industri modal ventura perlu dipandang bukan sebagai sektor kecil, melainkan sebagai ‘missing middle’ yang menjembatani antara kebijakan fiskal dan dunia usaha.
Ia menilai peran modal ventura sangat penting terutama bagi sektor-sektor yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi (high growth potential) namun belum sepenuhnya memenuhi kriteria perbankan (non-bankable), seperti pertanian modern, industri hijau, logistik, dan pengolahan daerah.
“Jika sebagian kecil dari dana Rp200 triliun itu diarahkan ke skema kolaboratif bersama modal ventura, dampak penggandanya akan jauh lebih besar dibandingkan penyaluran kredit konvensional,” kata Fakhrul.
Fakhrul juga menyoroti perlunya reformasi regulasi agar industri modal ventura dapat menjadi kanal resmi pembangunan nasional. Ia mengusulkan agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerapkan model perizinan bertingkat (tiered licensing), yang memungkinkan pembentukan micro venture fund dengan modal awal Rp5–10 miliar. Dengan begitu, industri modal ventura bisa tumbuh di berbagai daerah di Indonesia.
“Regulasi kita saat ini masih memperlakukan modal ventura seperti lembaga keuangan biasa. Padahal, venture capital sejatinya adalah mesin keberanian. Jika lisensinya dibuat fleksibel dan bertingkat, ekosistemnya bisa tumbuh dari bawah,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pertumbuhan modal ventura yang sehat juga berpotensi mengembalikan dana Indonesia yang saat ini banyak tersimpan di luar negeri.
“Jika ekosistem risikonya jelas, dana diaspora dan investor domestik akan lebih berani kembali berinvestasi di tanah air,” ujarnya.
Fakhrul mencontohkan sejumlah negara yang sukses memanfaatkan modal ventura sebagai perpanjangan tangan kebijakan fiskal.
Salah satunya adalah Singapura, yang membentuk Heliconia Capital di bawah Temasek Holdings untuk membiayai ekspansi perusahaan menengah nasional.
Selain itu, Korea Selatan memiliki Growth Ladder Fund, yakni dana pemerintah yang disalurkan melalui venture capital swasta untuk mendukung startup dan UKM berbasis teknologi.
Sedangkan Prancis dengan Bpifrance menjalankan skema co-investment antara dana publik, sektor swasta, dan bank pembangunan regional.
“Negara-negara maju berhasil menggabungkan dana publik dengan keberanian pasar. Itulah hal yang belum kita lakukan,” jelas Fakhrul.
Ia meyakini, Indonesia dapat membangun versinya sendiri, dan penempatan dana Rp200 triliun ini bisa menjadi langkah awal menuju pembentukan arsitektur pembangunan berbasis modal ventura (venture-based development).
Sumber: cnbcindonesia.com
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital
DISCLAIMER
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.