Presiden RI Siapkan Pendanaan bagi Warga yang Ingin Keliling Dunia dengan Jalan Kaki & Gowes

Berita Terkini - Diposting pada 22 November 2025 Waktu baca 5 menit

Bagi banyak orang, berkeliling dunia merupakan impian besar yang sulit diwujudkan karena membutuhkan biaya serta tenaga yang besar. Namun sejarah mencatat sebuah kejadian yang tidak biasa. Presiden RI pernah mendanai lima warga yang berani melakukan perjalanan keliling dunia hanya dengan berjalan kaki dan bersepeda atau gowes. Kelima warga tersebut adalah Rudolf Lawalata, Abdullah Balbed, Sudjono, Saleh Kamah, dan Darmadjati.

 

Peristiwa ini terjadi pada tahun 1955 ketika Indonesia tengah mendapat perhatian sebagai negara dunia ketiga yang vokal menentang neo-kolonialisme dari negara-negara Barat. Dalam semangat mengharumkan nama bangsa, lima pemuda itu berniat mengunjungi berbagai negara dengan cara yang tak lazim, yaitu berjalan kaki dan menggunakan sepeda.

 

Kelima pemuda ini tidak saling mengenal, tetapi pada waktu yang hampir bersamaan mereka menyampaikan keinginan tersebut kepada awak media pada 1954.

 

Sebagai contoh, Koran Merdeka (6 Desember 1954) memberitakan tekad Saleh Kamah untuk mengelilingi dunia dengan sepeda. Sementara itu, Java Bode (22 Oktober 1954) menuliskan kisah Rudolf Lawalata yang sudah memulai perjalanan dengan berjalan kaki dari rumah menuju Jakarta sebagai langkah awal dalam upaya keliling dunia.

 

Karena memiliki tujuan yang sama, mereka kemudian bertemu. Semuanya ingin bertatap muka dengan Presiden Soekarno sebelum meninggalkan Indonesia. Mengetahui hal tersebut, Soekarno segera memanggil mereka ke Istana Negara.

 

Dalam memoar Rp. 50 Keliling Dunia (2009), Sujono menuturkan bahwa pertemuan itu berlangsung pada 8 Januari 1955 pukul 10 pagi. Mereka disambut langsung oleh Presiden Soekarno, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, serta sejumlah pejabat tinggi negara. Soekarno merasa bangga dan memberikan pesan penuh harapan.

 

“Anakku Rudolf Lawalata, Sujono, Abdullah Balbed, bawalah dirimu mengelilingi dunia tetapi pastikan jiwamu tetap kepada Tuhan dan Indonesia,” ucap Soekarno sambil menepuk dada mereka.

 

Presiden kemudian memberikan dukungan biaya berupa uang Rp50—setara sekitar Rp700 ribu saat ini—disertai sebuah kamera, tiga ransel, dan enam baju batik. Dengan bekal itu, kelima pemuda tersebut langsung berangkat menjalankan misi mereka masing-masing.

 

Saleh Kamah dan Darmadjati memilih melakukan perjalanan bersepeda dengan rute panjang: mulai dari Malaysia, Pakistan, India, Irak, Iran, Turki, lalu menuju Eropa. Dari Eropa, mereka menyeberang ke Amerika Serikat menggunakan kapal laut, sebelum melanjutkan ke Jepang, Filipina, dan kembali ke Indonesia.

 

Sementara itu, Rudolf Lawalata, Sujono, dan Abdullah Balbed menempuh perjalanan dengan berjalan kaki melewati Malaysia, Timur Tengah, Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Rusia, kemudian kembali melalui Timur Tengah, dan akhirnya pulang ke Indonesia.

 

Model perjalanan yang sangat sederhana ini membuat mereka mendapat perhatian luas di banyak negara. Mereka disambut ramah oleh warga lokal dan bahkan diberitakan di media internasional. United Press (2 Agustus 1956), misalnya, melaporkan kedatangan Sujono dan Abdullah Balbed di New York, dengan catatan bahwa Rudolf Lawalata tidak hadir karena sakit di Jerman.

 

“Dua mahasiswa Indonesia, Sujono dan Abdullah Balbed yang tengah melakukan perjalanan keliling dunia dengan berjalan kaki, tiba di kota ini pada hari Rabu dengan Kapal Norwegia dari Eropa,” tulis media Amerika tersebut.

 

Singkatnya, total perjalanan mereka berlangsung selama enam tahun. Namun tidak semuanya kembali ke tanah air. Hanya Sujono dan Saleh Kamah yang pulang ke Indonesia. Abdullah Balbed tinggal di Amerika Serikat, Lawalata menetap di Jerman, sementara nasib Darmadjati tidak diketahui.

 

Saat kembali, Sujono dan Saleh disambut meriah oleh masyarakat dan aparat, bahkan dipanggil kembali ke Istana. Dari perjalanan panjangnya, Sujono menarik satu kesimpulan penting.

 

“Akhirnya saya menyimpulkan bahwa pengalaman harus diperkaya dengan pengetahuan untuk menopang kehidupan dan pengabdian pada tanah air,” ujar Sujono.

 

Pada tahun-tahun berikutnya, mereka menjalani kehidupan masing-masing. Abdullah Balbed bekerja di Kedutaan Besar AS hingga wafat pada 2015. Saleh Kamah menjadi wartawan dan meninggal pada 2011. Sujono meninggal di AS pada 2019. Sementara jejak Lawalata dan Darmadjati hilang dari catatan sejarah.

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital

 

DISCLAIMER

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.