Efisiensi Anggaran Prabowo: Dampaknya pada Industri Perhotelan

Berita Terkini - Diposting pada 24 March 2025 Waktu baca 5 menit

ILLUSTRASI

Industri Perhotelan Terpukul Efisiensi Anggaran, PHK dan Penurunan Pajak Mengancam

Industri perhotelan di Indonesia mengalami dampak serius akibat kebijakan efisiensi yang diterapkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Sepinya jumlah pengunjung berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal serta penurunan pendapatan pajak dari sektor ini.

 

Survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Horwath HTL terhadap 726 pelaku industri perhotelan di 30 provinsi mengungkap bahwa kebijakan penghematan anggaran dapat memicu krisis dalam 6 hingga 12 bulan ke depan jika tidak segera disesuaikan.

 

Ketua Litbang dan IT PHRI, Christy Megawati, menyebut bahwa 88% responden memperkirakan harus melakukan PHK besar-besaran demi mengurangi beban operasional. “Tanpa perubahan kebijakan, industri ini menghadapi ancaman PHK massal serta gangguan rantai pasok,” ujarnya dalam konferensi pers di Hotel Grand Sahid Jaya, Sabtu (22/3/2025).

 

Selain itu, 78% responden memperkirakan target pajak hotel tidak akan tercapai. Sementara itu, sektor pariwisata diprediksi mengalami penurunan signifikan yang berdampak pada ekonomi daerah yang bergantung pada wisata. Christy memperingatkan bahwa jika kondisi ini berlarut-larut, banyak hotel bisa mengalami defisit operasional dan terpaksa menutup bisnis mereka.

 

Dalam survei yang sama, 83% responden mengaku tidak dalam posisi stabil untuk memulai tahun fiskal baru. Oleh karena itu, mereka meminta pemerintah segera memberikan intervensi berupa insentif pajak, bantuan finansial, serta peningkatan promosi pariwisata guna menjaga keberlangsungan sektor ini.

 

Hotel Hentikan Rekrutmen Pekerja Harian Lepas

Dampak kebijakan efisiensi anggaran juga terlihat dari berkurangnya penggunaan pekerja harian lepas (daily worker) di banyak hotel di Indonesia. Ketua Umum PHRI, Hariyadi B. Sukamdani, mengungkapkan bahwa minimnya tamu dari instansi pemerintah membuat hotel tidak lagi mempekerjakan pekerja sementara.

 

"Karyawan, terutama yang berstatus daily worker, sekarang hampir tidak ada lagi karena tidak ada tamu dari sektor pemerintah," kata Hariyadi. Biasanya, industri perhotelan merekrut pekerja harian tambahan saat ada lonjakan tamu, terutama dari kegiatan pemerintahan. Namun, kondisi ini berubah karena tidak adanya lagi kegiatan instansi pemerintah di hotel-hotel akibat pemotongan anggaran perjalanan dinas.

 

Efisiensi Anggaran Berdampak Luas pada Sektor Pariwisata

Kebijakan ini mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 yang mengamanatkan penghematan Rp306,69 triliun dalam APBN dan APBD Tahun 2025. Presiden Prabowo memerintahkan pemangkasan belanja operasional, pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin.

 

Di tingkat daerah, pemerintah juga membatasi acara seremonial dan perjalanan dinas hingga 50%. Namun, menurut Hariyadi, pemerintah tidak merealisasikan anggaran yang tersisa, melainkan menunda seluruh pengeluaran perjalanan dinas, termasuk acara yang sebelumnya digelar di hotel. Jika kondisi ini terus berlanjut, ia memperkirakan pekerja kontrak di bagian Food & Beverage (F&B) dan resepsionis juga akan terdampak.

 

Lesunya Daya Beli Masyarakat, Okupansi Hotel Turun

Selain kebijakan efisiensi, pelemahan daya beli masyarakat juga memperburuk kondisi industri perhotelan. Jelang Lebaran 2025, okupansi hotel secara nasional mengalami penurunan hingga 30% dibandingkan tahun lalu.

 

Hariyadi menambahkan bahwa tingkat keterisian pesawat (load factor) juga menjadi indikator penting. Jika maskapai mencapai tingkat keterisian 100%, maka okupansi hotel kemungkinan ikut meningkat.

 

Di kota-kota tujuan mudik seperti Solo, Malang, dan Yogyakarta, okupansi hotel diperkirakan mencapai 80-100% selama libur Lebaran. Namun, dampak jangka panjang masih belum dapat dipastikan, mengingat libur panjang tahun ini mencakup Nyepi (29 Maret 2025) dan Idulfitri (1 April 2025) yang diikuti cuti bersama hingga 7 April 2025.

 

Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, menyebut bahwa cuaca ekstrem dan bencana alam turut menjadi tantangan bagi industri perhotelan. Beberapa destinasi wisata mengalami gangguan akses akibat hujan deras, sementara masyarakat yang terdampak bencana cenderung mengurangi perjalanan wisata. "Kita harus melihat bagaimana kondisi ini akan mempengaruhi pergerakan wisatawan dalam negeri ke depannya," pungkasnya.

Sumber: bisnis.com

Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Sampaikan pendapat Anda kepada kami. Jangan lupa follow akun Instagram, TikTok, Youtube Digivestasi agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar ekonomi, keuangan, teknologi digital dan investasi aset digital

 

DISCLAIMER

Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami rangkum dari sumber terpercaya dan dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs ini adalah merupakan tanggung jawab mereka pribadi.